Antara Riba dan Kebutuhan


Sebagai seorang mahasiswa di sebuah kampus Negeri di Sumatera Barat, tentunya aku bangga. Karena penjagaan dari masyarakat sekitar masih sangat terasa. Penjagaan yang mereka berikan secara moriil, adalah sebuah bentuk kasih sayang dan kepedulian terhadap generasi muda yang akan melanjutkan kehidupan Islam dan Indonesia.
Seorang perantau muda, pengalaman yang masih belum seberapa membuat para perantau harus berbesar hati menerima apa yang diatur di tanah rantau. Meski terkadang terasa berat untuk menjalani, namun usaha harus tanpa akhir, sebab usaha yang terputus itu sama saja dengan kalah!
Menjadi mahasiswa adalah impian banyak orang, namun lebih banyak lagi orang yang tak memiliki kesempatan untuk menyandang gelar “mahasiswa” dan banyak orang yang tidak menyadari keberuntungannya sebagai mahasiswa sehingga menjalani kuliah dengan ala-kadarnya saja. Tidak berusaha menjadi mahasiswa emas yang dibanggakan orang tua.
Beberapa bulan kuliah kami jalani di kampus utama, namun karena kapasitas kampus sudah mulai tak mampu menampung banyaknya mahasiswa yang harus berbagi waktu dan lokal, akhirnya kami dipindahkan ke kampus 2 yang baru selesai dibangun. Tentu saja, aku dan teman-teman yang sudah telanjur tinggal di kontrakan dekat kampus utama terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk biaya transportasi ke kampus.
Biaya transportasi juga terpaksa dari orang tua karena uang bulanan tidak mungkin cukup bila digunakan sebagai uang tranportasi. Dengan biaya transportasi lebih dari Rp. 5000,00/hari akan sangat memberatkan jika kami terus tinggal di kontrakan. Sebagai mahasiswa cerdas, kami berpikir lebih keras untuk menemukan solusi terbaik mengatasi hal ini. Akhirnya aku dan teman-teman sepakat memaksakan diri untuk menabung setiap hari.
Beberapa kali minta biaya tambahan buat transportasi sama orang tua, langsung dikasih. Namun beberapa kali setelah itu semuanya semakin terasa berat seiring bertambahnya kebutuhanku dan saudara-saudara yang juga sedang menempuh pendidikan.
Aku hanya diam, saat menerima uang bulanan dari ibu. Lidahku kelu, meski sebenarnya aku ingin mengatakan “aku butuh tambahan”. Hatiku mungkin tak setega itu, ibu pasti akan memberi tambahan jika ia punya dan aku minta. Tapi keegoisan tidak membuat bahagia hingga akhirnya aku harus berucap “bu, uangnya sudah cukup kok”.
Di perjalanan aku masih terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa memenuhi kebutuhanku. Beberapa kali ibu sudah menyarankan untuk pindah ke lokasi sekitar kampus. Agar tidak perlu mengeluarkan uang untuk transportasi. Namun sebagai seseorang yang sudah punya pengalaman banyak sebagai warga kos, aku terpaksa menyuguhkan seribu satu alasan untuk tidak pindah. Hingga suatu kali ibu bicara agak keras.
“Tiap pulang minta tambahan uang buat ongkos, disuruh pindah tidak mau! Berhenti saja kuliah!”
Aku terdiam seribu bahasa mendengar perkataan ibu. Ia tetap menyerahkan uang bulanan ke tanganku sambil terus bersungut-sungut beberapa menit. Setelahnya aku yakin ibu juga menyesal mengeluarkan kata-kata itu. Setelah suasana agak tenang, aku  mulai menjelaskan kepada ibu.
“Bu, ibu yang sabar ya. Nana juga tidak ingin nambah beban biaya keluarga kita. Tapi bu, Nana sudah punya 3 tahun pengalaman jadi anak kos dan yang paling sulit ditemukan itu adalah kenyamanan, Bu. Nana sudah nyaman di kontrakan yang sekarang, tidak pernah terpikir akan  pindah kos sebab Nana tidak ingin kehilangan kenyamanan ini Bu. Ibu tolong sabar sebentar ya. Nana juga sedang usaha.”
Ibu hanya tersenyum. Aku menyalami dan mencium pipinya sebelum berangkat.
“Bantu Nana dengan doa ya Bu?”
“Iya Nak, doa ibu selalu untuk kalian semua. Belajar yang rajin dan jaga diri baik-baik disana.”
“Iya Bu, Nana berangkat ya Bu. Assalamu’alaikum.” Aku mengayunkan langkah menuju halaman dan menaiki mobil yang telah di stop oleh adikku.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.”
**
Seiring berlalunya waktu, aku memilih tidak pulang selama berbulan-bulan dan menghabiskan waktu luang dan libur kuliah untuk bekerja dan mendapat uang tambahan. Kubersihkan beberapa botol bekas minuman untuk dijadikan celengan darurat. Kutempelkan kertas bertulisan “UNTUK BELI SEPEDA MOTOR” di salah satu botol agar timbul semangat menabung setiap kali melihat tulisan tersebut.
Setiap hari aku semakin semangat mengumpulkan uang untuk membeli kendaraan agar lebih mudah untuk ke kampus. Aku kerja part time, jadi penulis lepas bahkan membantu mengetik makalah teman. Semuanya aku lakukan dengan sepenuh hati, tanpa mengumpat, tanpa mengeluh. Aku berusaha memandang semuanya dengan positif sebab pikiran positiflah yang akan merubah seseorang.
Waktu telah meninggalkan usahaku terlalu jauh, meski sudah bermandi peluh demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. Aku gagal mencapai target pengumpulan uang yang telah aku dan teman-teman tetapkan. Kami menyadari, rupanya tidak mudah mengumpulkan jutaan rupiah meski berjuang siang-malam. Bahkan yang ku kumpulkan dengan mengorbankan waktu bersama keluarga, belum sampai setengah harga sepeda motor yang aku inginkan.
Aku berfikir keras, begitu juga teman-teman yang tak lelah berjuang bersama. Meski mereka butuh pekerjaan, ada pekerjaan yang mereka tak mampu mengerjakannya dan menawarkannya padaku. Luar biasa, ketika itu hubungan persahabatan pun semakin erat. Mereka tidak pernah khawatir akan kekurangan  pendapatan hanya karena menawarkan suatu pekerjaan yang mulanya ditawarkan pada mereka. 
Waktu berlalu begitu cepat karena sibuk meghabiskannya dengan berusaha. Lembaran-lembaran rupiah tampaknya sudah memenuhi syarat untuk dijadikan DP sepeda motor dan beberapa kali angsuran bulanan. Aku senang sekali membayangkan minggu depan akan memiliki sepeda motor walaupun tidak dibayar tunai.
Akhirnya Sabtu pun tiba menyuguhkan hari libur yang tampaknya tak akan pernah ku lupakan. Esok takkan ada keluhan atas sebuah keterlambatan angkutan. Namun malam minggu yang malang, ia kehilangan keceriaan dimataku. Malam itu.
**
“Bu, besok Nana mau lihat sepeda motor. Mau kredit. Tidak apa-apa kan Bu?” tanyaku tanpa basa-basi.
Ibu diam. Mungkin sedang berfikir dan menimbang baik-buruknya niatku. Dahi ibu berkerut.
“Nak, Ibu tahu Nana sangat membutuhkan kendaraan untuk berangkat ke kampus. Namun, menurut ibu kredit akan membebani pikiranmu nanti. Jangan sampai karena memikirkan angsuran kredit makan tak enak, kuliah tak beres, badan menjadi kurus. Hati takkan tenang Nak. Kamu akan berfikir selalu dikejar hutang. Ada kajiannya kan?”
“Iya Bu, ada waktu di pondok dulu.” Jawabku.
Aku hanya diam menimbang-nimbang nasehat ibu. Memang benar apa yang dikatakannya. Namun keinginan untuk memiliki sepeda motor lebih tinggi dibandingkan keagungan nasehat itu. Apalagi jika memandang jerih payah dalam mengumpulkan rupiah dalam waktu yang terbilang lama.
“Pendapat ayah sama dengan ibumu Na. Bersabarlah sebentar, kami akan usahakan mengumpulkan uang untuk menambah apa yang telah kamu tabung selama ini. Bersabar sebentar, fokus kuliah sebentar. Tidak usah memikirkan tambahan lagi, ayah dan ibu usahakan. Sebentar lagi ubi jalar yang di dekat ladang Tek Mar sudah waktu panen. Nah, uang itu bisa kita gunakan untuk menambah kekurangan uang yang telah Nana kumpulkan.”
“Tapi Yah, Nana sangat membutuhkan kendaraan. Coba kalau Nana punya sepeda motor, Nana bisa memaksimalkan waktu sisa kuliah untuk kerja. Semuanya akan lebih mudah dan lebih hemat. Apa salahnya sih kita kredit dulu? Kan tidak masalah, Nana bisa kok mengatasi angsuran pembayarannya. Ayah dan Ibu tidak usah khawatir. Kuliah Nana juga tidak akan ketinggalan kok. Semua akan baik-baik aja yah, bu.”
Aku bersungut-sungut. Beberapa menit suasana hening dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Hasratku hendak memiliki sepeda motor terlalu labil malam itu. Sehingga kakak perempuanku ikut nimbrung menimpali.
“Sudah Na. Dengarkan dan ikuti saja saran ayah dan ibu. Bersabar sebentar. Fokus kuliah. Kalau hanya untuk mengumpulkan uang untuk menambah yang telah kamu kumpulkan kakak rasa itu tidak akan lama Na. Beberapa waktu lagi kita panen ubi jalar yang dekat ladang Tek Mar itu. Syukur-syukur kalau dia mau nambah uang perjuanganmu itu Na. Apalagi kalau dia tahu bagaimana perjuanganmu mengumpulkan uang sebanyak itu.”
“Benar Na, Kak Ina juga setuju dengan ayah dan ibu. Nana sabar sebentar. Tunai kan lebih nyaman. Lebih aman. ” Timpal Kak Ina, kakak keduaku.
Adik-adikku yang sedari awal tak mau ikut nimbrung pembahasan juga malah ikut membenarkan nasehat ayah dan ibu. Aku diam sejenak, pura-pura berpikir. Seolah-olah masih sulit menerima usulan cerdas mereka semua.
“Baiklah, aku kalah telak. Aku ikut nasehat ayah dan ibu. Tapi ibu saja yang pegang uang ini, takut nanti malah semakin berkurang Bu. Kan ada seribu satu alasan buat merogoh celengan yang tak bisa berbuat apa-apa. Hehehe.” Aku menyipitkan mata ke arah ibu.
“Kalau begitu ibu simpan di bank syari’ah saja. In syaa Allah uang Nana akan tetap sama. Lebih aman dan lebih jelas. ” Balas ibu.
“Oke deh Bu. Kalau jumlahnya nambah Nana setuju banget. Hehe terima kasih ya atas semua sarannya, yah, bu, semuanya. Saran dan nasehat diterima dan ditelan mentah-mentah.”
Semua malah tertawa mendengar perkataan yang entah keluar dari mulut siapa. Malam itu memang tak bisa aku lupakan, namun keceriaannya tidak benar-benar hilang, malah bercahaya terang benderang karena kasih sayang keluargaku. Malam itu menyadarkanku bahwa di dunia ini kita dipaksa memilih antara nafsu dan syari’at. Nafsu akan berkata, tak apa-apa melanggar hal yang kecil, sedangkanakan syari’at tetap menghitungnya sebagai dosa meski kecil. Dosa kecil jika dilakukan terus menerus maka ia boleh jadi akan melebihi besarnya dosa besar.
Tuhan tak pernah meninggalkan orang-orang yang bersabar, semenjak malam minggu mengerikan itu Dia semakin melancarkan rezekiku. Hingga akhirnya, orderan barang yang aku jual di sela-sela waktu kuliah pun berdatangan. Bahkan yang Tuhan berikan lebih dari apa yang aku mau, aku yakin itu hadiah atas kekuatan hati memilih menaati syari’at dibanding hawa nafsu.
-Selesai-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magribku yang Entah

Beku